Frensia.id – Puasa, dalam makna sederhana, adalah menahan diri. Orang berpuasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan amarah, menahan keinginan berlebihan, dan menahan diri dari menyakiti orang lain.
Seorang pemimpin benar-benar memahami hakikat puasa, semestinya ia juga melakukan puasa dalam berkuasa—menahan diri dari kesewenang-wenangan, menahan keinginan memperpanjang masa jabatan dengan segala cara, serta menahan godaan memperkaya diri dan kelompoknya.
Namun, yang sering terjadi adalah kebalikannya. Di negeri ini, puasa kuasa lebih sering dilakukan dengan cara yang aneh. Saat rakyat meminta keadilan, pemerintah justru berpuasa dari mendengar. Saat masyarakat mengharapkan pejabat hidup sederhana, yang terjadi justru pesta pora dengan dalih fasilitas negara. Ketika rakyat diminta berhemat, mereka yang berkuasa tetap menikmati kemewahan.
Dalam banyak kebijakan, terlihat jelas bagaimana penguasa mampu “berpuasa” dengan selektif. Mereka berpuasa dari kritik, tapi tidak dari pencitraan. Berpuasa dari mendengar keluhan rakyat, tapi tidak dari menerbitkan aturan yang membebani. Berpuasa dari introspeksi, tapi tidak dari memberikan perintah. Jika ada yang mengkritik, segera diberi label negatif: provokator, perusuh, bahkan anti-pemerintah.
Ambil contoh bagaimana regulasi dibuat. Beberapa aturan lahir dengan cepat, tanpa banyak diskusi, tanpa mendengar masukan publik. Tapi di saat bersamaan, ada banyak persoalan yang seolah didiamkan dan dibiarkan menggantung. Berapa banyak masalah yang butuh solusi mendesak tetapi justru diperlambat? Berapa banyak aspirasi rakyat yang hanya menjadi deretan laporan tanpa tindak lanjut?
Dalam agama, puasa mengajarkan empati. Orang yang berpuasa merasakan bagaimana rasanya lapar, sehingga ia lebih memahami penderitaan orang lain. Puasa yang benar membuat seseorang lebih peduli terhadap sesama. Maka, jika pemimpin berpuasa kuasa dengan benar, mereka seharusnya lebih peka terhadap penderitaan rakyat.
Seharusnya mereka memahami bahwa harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi bukan sekadar angka di statistik, tetapi beban nyata bagi keluarga miskin. Seharusnya mereka sadar bahwa keterlambatan subsidi, kebijakan pajak yang membebani, atau regulasi yang memihak kelompok tertentu bukan sekadar isu administratif, tetapi persoalan hidup bagi banyak orang.
Sayangnya, puasa kuasa yang kita saksikan lebih sering bersifat simbolis. Banyak pemimpin berbicara tentang kesederhanaan, tetapi tetap hidup dalam kemewahan. Mereka berbicara tentang mendengar suara rakyat, tetapi hanya mendengar suara yang sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka meminta rakyat bersabar, tetapi diri mereka sendiri tak pernah menahan diri dalam mengambil keuntungan dari kekuasaan.
Sebuah hadis mengingatkan bahwa banyak orang berpuasa, tetapi yang mereka dapatkan hanya lapar dan haus. Mereka tidak memperoleh hikmah dan manfaatnya karena puasa yang dilakukan tanpa kesadaran. Dalam dunia politik, hal yang sama juga berlaku. Banyak pemimpin yang tampaknya berpuasa kuasa, tetapi sejatinya mereka hanya mencari cara untuk mempertahankan posisi. Mereka menampilkan diri sebagai pemimpin sederhana, tetapi di balik layar, tetap menikmati segala kemewahan yang diberikan jabatannya.
Maka, pertanyaannya: kapan para pemimpin akan benar-benar memahami makna puasa? Kapan mereka akan berpuasa dari keserakahan, dari kesewenang-wenangan, dari kebijakan yang menyusahkan rakyat? Jika mereka terus berpuasa dari keadilan, apakah mereka tidak khawatir bahwa rakyat suatu saat akan berbuka dengan kemarahan?
Sejatinya, kekuasaan yang baik bukanlah yang mempertahankan diri dengan segala cara, tetapi yang tahu kapan harus menahan diri. Pemimpin sejati bukanlah yang hanya memerintah, tetapi yang mampu menahan diri dari godaan berlebihan.
Puasa kuasa yang sesungguhnya adalah ketika seorang pemimpin sadar bahwa rakyat bukan untuk dikendalikan, tetapi untuk dilayani. Jika mereka benar-benar memahami esensi puasa, seharusnya mereka sadar: lapar rakyat hari ini bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan esok hari.
Maka, mari berharap bahwa puasa kuasa bukan hanya sekadar wacana. Bahwa mereka yang selama ini menutup telinga akan mulai mendengar. Dan bahwa ketika mereka akhirnya berbuka, yang mereka hidangkan adalah keadilan—bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh rakyat.