Frensia.id – Setiap kali 1 Muharram tiba, sebagian masyarakat Muslim Indonesia, punya cara khas menyambut tahun baru Hijriah: minum susu putih. Bukan sekadar kebiasaan, tapi praktik ini sarat makna. Ia adalah simbol, doa, dan spiritualitas yang mengalir dari teladan para ulama agung. Salah satu ulama terkemuka yang mewariskan amalan ini adalah Abuya Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki, ulama kharismatik keturunan Rasulullah SAW yang berkiprah di tanah suci.
Abuya mengajarkan bahwa meminum susu putih pada malam 1 Muharram adalah bentuk tafa’ul, yaitu mengharap kebaikan dan keberkahan di awal tahun. Dalam pandangan beliau, susu putih bukan sekadar cairan pemenuh nutrisi, melainkan simbol kebersihan jiwa dan kemurnian niat untuk menapaki hari-hari baru. Susu putih menjadi metafora dari harapan: tahun yang putih, bersih, dan penuh kebaikan.
Praktik ini dilakukan setelah Maghrib hingga sebelum Subuh malam 1 Muharram. Abuya biasa mengawali dengan doa:
اللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْهُ
Ya Allah, berkahilah kami di dalam air susu ini dan tambahlah keberkahan kami darinya.
Doa ini sederhana, tapi menyimpan kedalaman spiritual: permohonan agar Allah memberkahi simbol kebaikan itu dan melimpahkan keberkahan darinya ke dalam kehidupan kita. Tradisi ini juga tak berhenti pada praktik personal, sebab Abuya membiasakan membagikan susu putih kepada santri-santrinya—sebuah isyarat penting bahwa keberkahan harus dibagi, bukan disimpan sendiri.
Dalam konteks teologis dan historis, 1 Muharram bukan hanya pergantian kalender. Ia menandai peristiwa monumental dalam sejarah Islam: Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Sebuah langkah transformasi, bukan sekadar perpindahan geografis. Muhammad Farchani dalam Celebrating 1 Muharram: History, Tradition, and Meaning in the Islamic Context (2024) mencatat bahwa Hijrah adalah momen spiritual yang melambangkan perubahan menuju kebaikan, pembaruan niat, dan perbaikan diri.
Oleh karena itu, menyambut 1 Muharram semestinya bukan sekadar seremonial. Ia seharusnya menjadi momentum muhasabah. Dalam diam malam, kita diajak merenung: sudah sejauh mana kita beranjak dari gelap menuju terang, dari amarah menuju damai, dari kemalasan menuju keikhlasan?
Tradisi minum susu putih menjadi medium yang merangkum semua itu. Ia bukan dogma wajib, tapi pilihan simbolis yang sarat makna. Di tengah masyarakat modern yang cenderung menyambut tahun baru dengan pesta kembang api, Abuya menghadirkan cara yang sunyi tapi dalam: segelas susu putih, segumpal doa, dan segenggam harapan.
Lebih jauh, tradisi ini mengajarkan kita bahwa spiritualitas tak selalu hadir dalam bentuk ritual besar. Kadang ia justru datang dari yang paling sederhana. Dari segelas susu, misalnya, kita diajak untuk menata niat, memperbarui arah, dan memperbaiki langkah.
Dalam era yang makin tereduksi maknanya oleh rutinitas seremonial, warisan Abuya Sayyid Muhammad adalah napas segar. Ia mengingatkan kita bahwa awal tahun bukan soal gegap gempita, tapi soal kesiapan jiwa. Dan susu putih di malam 1 Muharram menjadi simbol dari niat untuk menulis lembaran baru yang lebih putih, bersih, dan penuh keberkahan.
Selamat Tahun Baru Hijriah, semoga kita semua diberi kemampuan untuk berhijrah—dari gelap menuju terang, dari sibuk kepada makna, dari biasa menjadi lebih baik