Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

Senin, 2 Juni 2025 - 23:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa (Sumber: Grafis Frensia)

Gambar Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa (Sumber: Grafis Frensia)

Oleh: M. Gafur Nurhidayat*

Frensia.id — Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, kita dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjaga persatuan dan harmoni. Sering kali, riak-riak perbedaan agama, budaya, dan pandangan hidup menjadi sumber konflik yang menggoyahkan sendi-sendi kebersamaan.

Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila dan semangat Perjanjian Hudaibiyah dari sejarah Islam menjadi dua garis laras yang berpadu untuk menegaskan pentingnya hidup damai dan toleran. Keduanya, meskipun lahir dari konteks yang berbeda, memiliki kesamaan esensial. Bahwa damai bukan hanya konsepsi ideal, melainkan prasyarat bagi terciptanya masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Pancasila, yang lahir dari refleksi mendalam para pendiri bangsa, menjadi dasar negara yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Lima silanya – Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan – adalah pilar-pilar yang menopang tatanan sosial yang inklusif dan berkeadilan.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menekankan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi setiap individu. Hal ini menjadi pondasi utama dalam masyarakat Indonesia yang plural, di mana semua warga negara dihormati keyakinannya.

Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyerukan pengakuan atas martabat manusia tanpa memandang perbedaan ras, agama, atau budaya. Nilai ini menjadi pengingat bahwa setiap individu, dalam status sosial apapun, berhak atas perlakuan yang manusiawi.

Persatuan Indonesia, sila ketiga, menegaskan pentingnya meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan. Ini adalah prinsip yang menuntut pengakuan terhadap pluralitas bangsa, sembari menolak sektarianisme yang memecah belah.

Musyawarah dan mufakat, seperti diamanatkan sila keempat, adalah metode untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana. Prinsip ini senada dengan ajaran Islam tentang syura (musyawarah), yang mendorong terciptanya ruang dialog dan partisipasi semua pihak.

Baca Juga :  Belajar dari Arsenal dan Real Madrid

Terakhir, sila kelima tentang Keadilan Sosial menggarisbawahi bahwa kesejahteraan bersama adalah tujuan utama pembangunan bangsa, bukan hanya keuntungan segelintir elit.

Sementara itu, Perjanjian Hudaibiyah menjadi contoh konkret bagaimana nilai-nilai damai dapat diterapkan dalam konteks konflik yang tampaknya buntu. Perjanjian ini terjadi pada tahun 628 M antara Rasulullah SAW dan kaum Quraisy, yang awalnya berkonflik hebat.

Isi perjanjian itu sendiri, meskipun di atas kertas tampak merugikan umat Islam, menunjukkan kebijaksanaan Rasulullah yang mendahulukan perdamaian sebagai jalan untuk membuka pintu dakwah dan hubungan sosial yang lebih produktif.

Hudaibiyah adalah bukti bahwa dialog dan kompromi adalah instrumen yang ampuh dalam meredakan ketegangan dan membuka ruang kerja sama. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa keberanian terbesar bukan hanya dalam peperangan fisik, tetapi dalam menahan ego dan prasangka demi kemaslahatan yang lebih luas.

Dalam konteks bangsa Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat Pancasila: bahwa damai harus diperjuangkan melalui kesediaan untuk saling mendengar, memahami, dan mencari titik temu.

Ilmu sosial kontemporer juga mendukung pentingnya nilai-nilai ini. Johan Galtung, tokoh terkemuka dalam studi perdamaian, mengungkapkan bahwa perdamaian sejati (positive peace) tidak saja ketiadaan kekerasan (negative peace), tetapi juga kehadiran keadilan sosial, penghormatan martabat manusia, dan penguatan dialog lintas identitas.

Pancasila dan Hudaibiyah, bila dilihat dalam kacamata ini, menjadi contoh positive peace yang tidak sekadar memadamkan konflik, melainkan juga membangun harmoni yang berkelanjutan.

Dalam praktik sehari-hari, garis laras Pancasila dan Hudaibiyah dapat diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan kecil yang berdampak besar. Menghormati teman yang berbeda keyakinan, memberikan ruang bagi dialog, dan bekerja sama lintas agama atau budaya adalah wujud nyata dari nilai ini.

Baca Juga :  Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya

Bahkan, hal-hal sederhana seperti tersenyum kepada tetangga atau membantu mereka yang membutuhkan menjadi bentuk implementasi nilai kemanusiaan dan persatuan.

Kita perlu menanamkan nilai-nilainya dalam pendidikan dan kebijakan publik. Kurikulum pendidikan. Misalnya, harus menekankan pentingnya toleransi dan dialog lintas budaya.

Pemerintah pun perlu merumuskan kebijakan yang mengedepankan keadilan sosial, agar tidak ada kelompok yang merasa terpinggirkan atau didiskriminasi. Sebab, keadilan adalah prasyarat utama bagi terciptanya masyarakat yang damai.

Sebagaimana Hudaibiyah membuka jalan bagi dakwah yang lebih luas dan damai, penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa akan memperkuat ketahanan nasional.

Damai bukan hanya slogan, tetapi harus menjadi praktik sosial yang hidup. Ketika nilai-nilai ini terinternalisasi, bangsa Indonesia akan menjadi teladan bagi dunia: bahwa di tengah kemajemukan, harmoni bisa menjadi kekuatan yang menyatukan.

Garis laras antara Pancasila dan Perjanjian Hudaibiyah adalah pengingat bahwa damai adalah jalan, bukan sekadar tujuan. Keduanya menekankan pentingnya dialog, toleransi, dan keadilan sebagai pondasi kehidupan bersama.

Dalam konteks Indonesia, garis laras ini menjadi warisan berharga yang menuntun kita untuk terus menjaga persatuan dan memperkuat semangat gotong royong.

Mari kita mulai dari diri sendiri, menumbuhkan sikap saling menghargai dan menolak segala bentuk intoleransi. Sebab, membangun perdamaian bukanlah pekerjaan satu generasi, melainkan tanggung jawab lintas waktu yang memerlukan komitmen, kesabaran, dan keteladanan. Semoga kita mampu!

Penulis : *Guru MTsN 01 Bondowoso

Editor : Mashur Imam

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi
Ramalan Il Principe
Legitimasi Sistem Pendidikan
Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?
Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya
Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar Dan Celah Regulasi
Ganti Menteri, Kenapa Harus Ganti Kurikulum?
Kematian Agama dan Panggung Derita Buruh

Baca Lainnya

Senin, 2 Juni 2025 - 23:32 WIB

Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Senin, 19 Mei 2025 - 18:26 WIB

Ramalan Il Principe

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

Legitimasi Sistem Pendidikan

Kamis, 15 Mei 2025 - 13:45 WIB

Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?

TERBARU

Gambar Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa (Sumber: Grafis Frensia)

Kolomiah

Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

Senin, 2 Jun 2025 - 23:32 WIB

DPC PDIP Jember saat menggelar upacara (Sumber foto: Sigit)

Politia

Peringati Hari Pancasila, DPC PDIP Jember Gelar Upacara

Senin, 2 Jun 2025 - 07:00 WIB