Frensia.id- Rakyat disuruh irit, tapi ada yang berpesta dengan Rp 193,7 triliun. Duit sebesar itu cukup untuk menyekolahkan jutaan anak, membangun rumah sakit, atau setidaknya menjaga harga BBM agar rakyat tak megap-megap. Tapi apa daya, yang tersisa cuma asap. Uang itu raib dalam skandal yang menyeret Pertamina.
Jika terbukti, ini akan jadi megakorupsi terbesar kedua di Indonesia setelah kasus PT Timah yang menelan Rp 300 triliun. Kejaksaan Agung menduga ada permainan kotor di kilang minyak, dari akal-akalan tata kelola hingga dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax. Rakyat membayar lebih mahal, tapi yang didapat mungkin cuma bensin oplosan.
Korupsi di negeri ini bukan barang baru, tapi yang satu ini jelas bukan kelas teri. Menggerakkan uang sebesar itu butuh jaringan kuat, sistem yang bisa melindungi pemainnya, serta keberanian tingkat tinggi. Ini bukan kerja segelintir orang. Korupsi ratusan miliar saja sulit disembunyikan, apalagi triliunan.
Rakyat berhak menaruh curiga. Jika uang sebanyak ini bisa lolos tanpa terendus selama bertahun-tahun, jelas bukan sekadar pencurian. Ini adalah perampokan yang dilegalkan oleh sistem yang pura-pura buta.
Yang menarik, kasus ini baru terbongkar sekarang. Padahal, kejadiannya berlangsung sejak 2018 hingga 2023. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Uang yang bocor bukan recehan. Lalu, bagaimana bisa tak ada yang mencium gelagatnya sejak awal? Sungguh pengawasan macam apa yang bisa kecolongan sebesar ini? Jangan-jangan, bukan kecolongan, melainkan pembiaran. Atau ada kepentingan politik yang baru saja bergeser, sehingga pemain lama tak lagi punya perlindungan.
Pertamina buru-buru membantah ada permainan oplosan. Yang ada, katanya, hanya masalah tata kelola minyak. Sebuah kalimat yang terlalu sering kita dengar dan tak lagi mengejutkan. Yang justru menarik, publik lebih percaya Kejaksaan Agung ketimbang Pertamina. Bukan karena Kejaksaan Agung dianggap lebih bersih, tapi karena alasan “salah administrasi” sudah terlalu basi.
Yang jelas, rakyat tak hanya kehilangan uang, tapi juga kepercayaan. Selama ini, kenaikan harga BBM selalu dikemas dengan narasi stabilitas ekonomi. Tapi kini, setelah ketahuan ada permainan kotor, siapa yang harus diminta berhemat? Jika benar ada manipulasi kualitas BBM, berapa banyak kendaraan yang rusak akibat bahan bakar oplosan? Berapa banyak hak konsumen yang dilanggar?
Seperti biasa, skandal besar akan membuat gaduh sebentar sebelum akhirnya menguap. Pemerintah membentuk tim investigasi, beberapa tersangka diumumkan, sidang digelar, lalu hukuman ringan dijatuhkan. Pemain besar? Biasanya cukup angkat koper ke luar negeri.
Uang Rp 193,7 triliun itu raib. Pejabatnya aman. Rakyatnya? Dapat harga BBM mahal dan imbauan hemat. Seperti biasa, yang kaya makin jaya, yang kecil diminta sabar.