Frensia.id – Pascaglobalisasi, yang sering dirayakan sebagai era interdependensi ekonomi dan integrasi budaya, justru melahirkan paradoks yang mengerikan: kebangkitan militerisme sebagai kekuatan dominan dalam tata dunia baru. Jika globalisasi abad ke-20 dijanjikan sebagai proyek perdamaian melalui perdagangan, pascaglobalisasi abad ke-21 justru ditandai oleh eskalasi konflik bersenjata, proliferasi industri senjata, dan konsolidasi kekuatan militer dalam mengatur hubungan internasional.
Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran militer global pada 2023 mencapai rekor US$2,24 triliun—naik 34% sejak 2014—di tengah krisis ekonomi, ketimpangan yang melebar, dan ancaman iklim yang semakin nyata. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan proyek neoliberal, tetapi juga mengukuhkan tesis Noam Chomsky bahwa “militerisme adalah alat utama kapitalisme lanjutan untuk mempertahankan hegemoni.”
Hegemoni Ekonomi: Kompleks Industri-Militer sebagai Motor Kapitalisme Global
Ekonomi pasca globalisasi telah mengubah militerisme dari sekadar alat pertahanan menjadi mesin akumulasi kapital. Kompleks industri-militer, suatu simbiosis antara pemerintah, korporasi senjata, dan lembaga keuangan, kini menjadi aktor utama dalam ekonomi global.
Amerika Serikat, dengan anggaran militer sebesar 3,9 Triliun pada 2022, didorong oleh perang di Ukraina dan ketegangan di Laut China Selatan. Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel, mengkritik model ini sebagai “kapitalisme perang” yang mengorbankan kesejahteraan publik: alokasi AS untuk militer 14 kali lebih besar daripada anggaran pendidikan tinggi, sementara 37,9 juta warganya hidup dalam kemiskinan.
Di negara berkembang, hegemoni ekonomi militerisme tercermin dalam utang luar negeri yang dialokasikan untuk impor senjata. Menurut Bank Dunia, 22% utang luar negeri Mesir (US$130 miliar) digunakan untuk membeli persenjataan dari Prancis dan Rusia, sementara 60% penduduknya kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar. Di Asia Tenggara, Filipina meningkatkan anggaran militernya sebesar 25% pada 2023 untuk membeli helikopter tempur dari AS, meski 20% anak-anak di negara itu mengalami stunting akibat malnutrisi. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine menyebut praktik ini sebagai “bencana yang dikapitalisasi”: krisis politik dan ketidakstabilan sengaja dipelihara untuk membuka pasar senjata.
Polarisasi Sosial: Kekerasan sebagai Alat Pemecah Belah
Militerisme pasca globalisasi tidak hanya menguras sumber daya ekonomi, tetapi juga memperdalam jurang polarisasi sosial. Di Myanmar, junta militer menggunakan taktik divide et impera dengan memicu konflik etnis antara komunitas Rohingya, Shan, dan Karen. Laporan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (2023) mencatat 4.500 warga sipil tewas sejak kudeta 2021, sementara 1,3 juta orang mengungsi—sebagian besar dari kelompok minoritas. Polarisasi serupa terjadi di India di bawah kepemimpinan Narendra Modi, di mana militerisasi Kashmir dan retorika nasionalisme Hindu telah memicu kekerasan terhadap Muslim dan Dalit. Menurut Human Rights Watch, 85% korban kekerasan komunal di India pada 2022 berasal dari kelompok minoritas.
Di Amerika Latin, militerisme berkelindan dengan narasi “perang melawan narkoba” untuk melegitimasi represi negara. Di Meksiko, militerisasi polisi sejak 2006 telah menewaskan 350.000 orang—90% di antaranya warga sipil—tanpa mengurangi perdagangan narkoba. Sosiolog Javier Auyero menyebut ini “kekerasan terinstitusionalisasi” yang melanggengkan ketakutan dan ketergantungan masyarakat pada otoritas militer. Sementara itu, di Eropa, kebijakan imigrasi yang militeristik—seperti pembangunan tembok perbatasan dan patroli bersenjata di Mediterania—telah mengubah krisis kemanusiaan menjadi “pertunjukan kekerasan” untuk memenuhi agenda politik sayap kanan. Filsuf Achille Mbembe menggambarkan fenomena ini sebagai “nekropolitika,” di mana negara menentukan siapa yang layak hidup dan siapa yang boleh mati.
Tatanan Militerisme Dunia: Dari Perang Proxy hingga Kapitalisme Pengawasan
Tatanan dunia pascaglobalisasi tidak lagi didominasi oleh negara-negara adidaya secara tunggal, melainkan oleh jaringan kompleks aktor militer negara dan non-negara. Perang proxy di Yaman, misalnya, melibatkan Arab Saudi (didukung AS), Iran (didukung Rusia), dan milisi Houthi, dengan 377.000 kematian sejak 2015—sebagian besar akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu blokade militer. Sementara itu, perusahaan militer swasta (PMC) seperti Wagner Group (Rusia) dan Blackwater (AS) merevolusi konsep perang modern: mereka tidak hanya bertempur di medan perang, tetapi juga menguasai tambang emas di Afrika Tengah dan minyak di Suriah. Laporan The Sentry (2023) mengungkapkan bahwa 70% pendapatan Wagner berasal dari eksploitasi sumber daya alam di negara konflik.
Di tingkat teknologi, militerisme pascaglobalisasi mengadopsi bentuk baru melalui surveillance capitalism. Proyek Project Maven milik Pentagon, yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis data drone, melibatkan perusahaan seperti Google dan Palantir. Di Tiongkok, teknologi pengenalan wajah yang dikembangkan Huawei telah digunakan militer untuk memantau etnis Uighur di Xinjiang. Shoshana Zuboff, penulis The Age of Surveillance Capitalism, memperingatkan bahwa kolaborasi militer-korporasi teknologi ini menciptakan “mesin perang digital” yang mengaburkan batas antara keamanan nasional dan invasi privasi.
Narasi Tanding: Resistensi Akademis dan Gerakan Sosial
Meski dominan, militerisme pascaglobalisasi tidak lepas dari perlawanan. Di ranah akademis, ilmuwan seperti Cynthia Enloe (Clark University) mengadvokasi pendekatan feminis untuk membongkar maskulinitas toksik dalam kebijakan militer. Enloe menunjukkan bagaimana 90% korban perang modern adalah warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak, sementara hanya 2% negosiator perdamaian yang berasal dari kelompok perempuan. Di bidang ekologi, Barry Sanders dalam The Green Zone menghitung bahwa emisi karbon militer AS setara dengan gabungan 140 negara berkembang—fakta yang menuntut remiliterisasi sebagai agenda krisis iklim.
Gerakan sosial juga bermunculan. Di Korea Selatan, aliansi mahasiswa dan petani berhasil memblokir rencana pemerintah membangun pangkalan militer AS di Pulau Jeju pada 2022. Di Amerika Serikat, kampanye Divest from the War Machine mendesak universitas seperti Harvard dan MIT untuk menarik investasi dari perusahaan senjata—sejauh ini berhasil mengalihkan US$12 miliar ke energi terbarukan. Sementara itu, di Palestina, gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) memperoleh dukungan global untuk mengakhiri pendudukan militer Israel, meski menghadapi represi hukum di AS dan Eropa.
Melampaui Paradigma Perang
Post-globalisasi militarisme bukanlah takdir, melainkan pilihan politik yang disengaja. Data dan analisis interdisipliner menunjukkan bahwa hegemoni ekonomi militer, polarisasi sosial, dan tatanan dunia yang represif adalah produk sistemik dari kapitalisme lanjutan. Seperti diingatkan oleh Johan Galtung, bapak studi perdamaian, “Perdamaian bukan sekadar tidak adanya perang, tetapi kehadiran keadilan.” Untuk keluar dari jerat militerisme, dunia perlu menggeser paradigma dari security through strength menuju security through solidarity—mengalokasikan sumber daya untuk pendidikan, kesehatan, dan transisi ekologis, serta membongkar kompleks industri-militer yang menghisap kehidupan. Jika tidak, kata Noam Chomsky, “kita hanya menanti kehancuran yang dipersiapkan oleh keserakahan dan senjata.”
Referensi Utama:
- SIPRI (2023), Trends in World Military Expenditure.
- Klein, N. (2007), The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism.
- Enloe, C. (2000), Maneuvers: The International Politics of Militarizing Women’s Lives.
- Zuboff, S. (2019), The Age of Surveillance Capitalism.
• • Laporan PBB dan NGO: ASEAN Parliamentarians for Human Rights (2023), The Sentry (2023), Human Rights Watch (2022).